Mwordnews.Info- Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja (Raker) bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pada Senin siang (4/9...
Mwordnews.Info-
Komisi XI
DPR RI menggelar rapat kerja (Raker) bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani
Indrawati, pada Senin siang (4/9). Rapat bertema Evaluasi Utang Negara.
Posisi utang
luar negeri Pemerintah Pusat Indonesia berdasarkan data dari Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI per tanggal
31 Juli 2017 adalah sebesar Rp 3.779,98 triliun. Angka tersebut berasal dari
Surat Berharga Negara sebesar Rp 3.045,00 triliun dan Pinjaman sebesar Rp
734,98 Triliun. Sedangkan, proyeksi posisi akhir tahun dengan menggunakan asumsi
PDB APBN 2017, rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB adalah sebesar 28,1
persen.
Dalam tiga
tahun kepemimpinan Joko Widodo, utang Indonesia bertambah sebanyak kurang lebih
Rp 1.000 triliun dengan angka debt to GDP rasio meningkat dari 25 persen
menjadi 28,1 persen. Padahal, saat kampanye Pilpres 2014, presiden menyampaikan
tidak akan menambah utang luar negeri baru, melainkan memaksimalkan APBN yang
berasal dari penerimaan negara. Bahkan, hal ini tertulis dalam visi dan misi
Jokowi-JK.
“Tata kelola
utang harus dilakukan dengan baik, jangan sampai utang yang kita lakukan
sekarang bermasalah di kemudian hari. Adalah sebuah keniscayaan memastikan
bahwa utang yang kita lakukan saat ini adalah utang produktif yang mengandung
aspek ekonomi,” kata anggota Komisi XI, Refrizal, dalam rapat tersebut.
Politikus
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menegaskan, jangan sampai utang yang
digunakan untuk membangun infrastruktur fisik malah menjadi beban generasi
mendatang. Seperti, pembangunan dermaga atau pelabuhan yang tidak tepat
sasaran.
“Di beberapa
daerah Sumatera, saya menyaksikan banyak dermaga yang dibangun dengan APBN
tetapi tidak digunakan karena pertimbangan pembangunan yang tidak tepat,” jelas
Refrizal, dikutip dari siaran persnya.
Aspek
penting yang juga menjadi sorotannya adalah besar utang yang ditanggung negara.
Saat ini diperkirakan sekitar 30 persen APBN 2018 digunakan untuk pembayaran
pokok dan bunga utang.
“Pemerintah
sering mengatakan bahwa kondisi utang kita masih kecil bila dibandingkan dengan
negara lain, hanya di kisaran 28,1 persen dari PDB kita. Namun, perlu kami
ingatkan, negara lain yang dibandingkan tersebut memiliki tingkat penerimaan
pajak lebih besar dibandingkan Indonesia, sedangkan tingkat tax ratio kita
hanya ada di 12 persen,” ungkapnya.
Beban utang
semakin besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, pembayaran kewajiban utang
Pemerintah mencapai Rp 155 triliun atau 8,6 persen dari belanja negara, angka
ini melonjak menjadi Rp 182 Triliun atau 9,7 persen dari belanja negara. Pada
tahun 2017, berdasarkan APBN 2017, kewajiban bunga utang Pemerintah
diperkirakan mencapai Rp 220 triliun; dan pada RAPBN 2018 yang diajukan
Pemerintah, beban ini mencapai Rp 247 triliun atau 11,2 persen dari Belanja
negara.
“Dengan kata
lain pembayaran bunga utang pada RAPBN 2018 lebih besar dibanding belanja
subsidi dan belanja fungsi perlindungan sosial yang hanya sebesar Rp 172
triliun dan 162 triliun,” jelas Refrizal.
rmol
rmol